Arah Pengaturan Kewenangan Mengatur Pemerintah Daerah di Bidang Kesehatan dalam Kerangka Otonomi Luas

 

Kamis, 19 Mei 2016, Unit PPM FH UGM menyelenggarakan agenda rutin Diskusi Akademik Bulaksumur Legal Discussion (BLD) dengan Narasumber Dosen Departemen Hukum Administrasi Negara, Ibu Mailinda Eka Yuniza, S.H., LL.M.. Tema BLD kali ini adalah pengaturan kewenangan pemerintah daerah di bidang kesehatan dalam kerangka otonomi luas.  Pemilihan tema ini di latar belakangi pada beberapa pemikiran. Pertama, Hak Rakyat Indonesia untuk memperoleh pelayanan kesehatan dijamin oleh UUD RI 1945 Pasal 28 H ayat (1). Tanggung jawab negara sebagai penyedia fasilitas pelayanan kesehatan. Dan dengan tanggung jawab yang demikian, desentralisasi diharapkan menjadi salah satu solusi untuk meningkatkan pelayanan kesehatan bari Rakyat Indonesia walaupun  pada pelaksanaannya masih terjadi tarik ulur pembagian urusan antara pemerintah pusat dan pemerintah. Berdasarkan UU No. 32/2004 dan PP No. 38/2007, pembagian urusan pemerintahan termasuk pelayanan kesehatan yang kini menjadi kewenangan dan tanggung jawab pemerintah daerah demi meningkatkan mutu pelayanan kesehatan. Dengan lain kata, Pemerintah bukan lagi pelaksana melainkan pembuat kebijakan pelayanan kesehatan bagi daerahnya.

Idealnya, desentralisasi kesehatan dinilai berhasil bila terjadi peningkatan kualitas pelayanan kesehatan yang dapat dinilai dengan dua indeks: Indeks Pembangunan Manusia (IPM) atau Human Development Index dan pemenuhan Millenium Development Goals (MDGs). Menurut United Nations Development Program, IPM Indonesia pada tahun 2014 berada di urutan 110 dari 188 negara yang disurvei, dengan skor 0,684.35. Secara umum, laporan pencapaian MDGs tahun 2014 menunjukkan bahwa Indonesia telah menunjukkan kecenderungan kemajuan yang baik dalam mencapai target MDGs, namun masih membutuhkan kerja keras untuk mencapai semua sasaran di tahun 2015. Dari uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa meskipun sudah dilaksanakan selama lebih dari 10 tahun, pelaksanaan otonomi daerah belum menunjukkan pengaruh yang merata terhadap perbaikan pelayanan publik di bidang kesehatan. Kebijakan otonomi khusus yang diterapkan untuk Provinsi Papua dalam rangka memfasilitasi Papua untuk mengejar ketertinggalannya dalam pelayanan kesehatan terhadap provinsi-provinsi lain di Indonesia (termasuk DIY) belum menunjukkan hasil yang maksimal.

Kondisi yang demikian menjadi alasan untuk mendeskripsikan arah kebijakan pengaturan kewenangan mengatur pemerintah daerah di bidang kesehatan di era otonomi luas dan bagaimana pelaksanaannya. Sehingga pelaksanaan sampai dengan tujuan sesuai dengan yang diharapkan.   Setelah mendiskripsikan arah kebijakan sebagaimana dimaksud di atas, akan ditemukan pola hubungan antara pengaturan kewenangan mengatur pemerintah daerah di bidang kesehatan dan pelaksanaan kewenangan mengatur tersebut setelah penerapan otonomi luas yang efektif dan efisien dalam pelaksanaannya dengan ditentukan dari peningkatan derajat kesehatan masyarakat sebagai domain yang hendak ditingkatkan.

Terkait dengan implementasi kewenangan mengatur pemerintah daerah di bidang kesehatan secara nasional, ditemukan bahwa: Pertama, pelaksanaan kewenangan mengatur di bidang kesehatan oleh pemerintah daerah di Indonesia sangatlah variatif, baik dari segi jumlah maupun substansi pengaturannya. Kedua, perbedaan performa daerah dalam mengeksekusi kewenangan mengatur yang diberikan kepadanya menunjukkan bahwa pelaksanaan kewenangan mengatur tidak selalu linier dengan besarnya ruang mengatur yang diberikan oleh pemerintah pusat. Ketiga, kemauan dan kemampuan daerah untuk melaksanakan kewenangan mengatur tidaklah sama. Pasca pelaksanaan desentralisasi justru alokasi pemerintah pusat untuk bidang kesehatan terus meningkat. Total alokasi pemerintah pusat dan pemerintah daerah untuk bidang kesehatan belum memenuhi ekspektasi sebesar 15% dari APBN. Keempat, ketergantungan daerah terhadap pengaturan dari pemerintah pusat masih tinggi. Kehadiran pedoman dari pemerintah pusat termasuk dari kementerian kesehatan seperti SPM, NSPK dan petunjuk teknis pada dasarnya ditujukan untuk membantu pemerintah daerah untuk bisa melihat lebih jelas arah desentralisasi kesehatan. Pada prakteknya, pengaturan pada ketentuan-ketentuan tersebut cukup detail dan harus diikuti pemerintah daerah.

Berdasarkan hasil penelitian di Kota Jayapura dan Kota Yogyakarta dapat dikatakan bahwa pelaksanaan kewenangan mengatur pemerintah daerah di bidang kesehatan tergolong variatif. Di Kota Jayapura eksekusi kewenangan mengatur sangatlah terbatas, sementara pelaksanaan kewenangan mengatur di bidang kesehatan di Kota Yogyakarta sudah lebih baik dengan baik dari segi jumlah maupun substansi. Kesenjangan yang cukup besar antara bagaimana Pemda Kota Yogyakarta melaksanakan kewenangan mengatur di bidang kesehatan yang diberikan kepadanya dibandingkan dengan bagaimana Kota Jayapura sebagai counterpartnya menunjukkan variasi pelaksanaan kewenangan mengatur di bidang kesehatan pasca pelaksanaan otonomi luas. Perbedaan ini menunjukkan juga perbedaan kesiapan daerah untuk melaksanakan desentralisasi kesehatan.

Meskipun data menunjukan peningkatan status kesehatan Indonesia yang cukup pesat pada masa desentralisasi, penelitian Kristiansen dan Santoso tetap menunjukan bahwa desentralisasi yang terjadi di Indonesia memang cenderung terburu-buru karena belum semua daerah siap menghadapi pelimpahan kekuasaan, termasuk dalam bidang kesehatan. Hasil menunjukan adanya kesenjangan IPM di tingkat Provinsi dan Kabupaten/Kota di Indonesia selama lima tahun terakhir yang masih cukup tinggi. Kesenjangan antara Provinsi dengan IPM terendah dan IPM tertinggi masih mencapai angka 21, sedangkan Provinsi dengan gap IPM terbesar pada tataran kabupaten/kota adalah Provinsi Papua dengan kota Jayapura memperoleh IPM tertinggi dan Kabupaten Nduga untuk IPM terendah. Selain IPM, bila dilihat dari Angka Harapan Hidup nampak bahwa di lima tahun terakhir terdapat peningkatan angka harapan hidup di Indonesia dan kesenjangan angka harapan hidup antara satu daerah provinsi dengan daerah provinsi lainnya lainnya semakin mengecil meskipun nilainya masih cukup tinggi. Hal lain yang menarik juga untuk dicatat adalah, bila dilihat dari data IPM yang ada nampak bahwa sebelum desentralisasi pun IPM Indonesia meningkat. Pada tahun 1996 ke tahun 1999 misalnya, IPM Indonesia meningkat dari 64,40 menjadi 62,20. Hal ini menunjukkan bahwa desentralisasi belum secara signifikan mengubah pencapaian IPM Indonesia.

Bila dikaitkan dengan kewenangan mengatur, hal ini terkonfirmasi mengingat meskipun ruang mengatur yang diberikan pemerintah pusat kepada pemerintah daerah pasca desentralisasi semakin luas, namun pelaksanaannya variatif, bahkan cenderung terbatas. Akan tetapi, peningkatan tetap dapat dicapai karena adanya peraturan-peraturan dari pemerintah pusat (pedoman-pedoman yang dikeluarkan kementerian kesehatan, misalnya dalam bentuk SPM, NSPK dan juknis-juknis) yang mengisi kekosongan pengaturan di daerah. Peraturan-peraturan yang dikeluarkan pemerintah pusat cukup detail sehingga tidak jarang meskipun diatur kembali oleh daerah sifatnya lebih sebagai desentralisasi formalistik sebagaimana hasil penelitian disertasi Enny Nurbaningsih. Terlebih, ada pengawasan dan sanksi yang cukup ketat dari pemerintah pusat terhadap produk peraturan perundang-undangan pemerintah daerah yang bertentangan dengan pemerintah pusat. Namun, disinilah permasalahan terkait kewenangan mengatur pemerintah daerah. Sebagimana dipaparkan dalam study kepustakaan, esensi dari otonomi dan desentralisasi adalah kewenangan mengatur. Jika pemerintah daerah hanya melaksanakan kebijakan pemerintah pusat tanpa secara cukup melaksanakan kewenangan mengatur yang diberikan kepadanya atau jika pemerintah pusat terlalu ketat mengatur pelaksanaan desentralisasi, maka esensi desentralisasi menjadi hilang. Detailnya pengaturan yang dilakukan kementerian kesehatan terhadap bidang kesehatan bisa dipahami mengingat bidang kesehatan adalah urusan wajib yang harus terpenuhi sementara ada gap kemampuan daerah yang berbeda antara daerah yang satu dengan daerah yang lainnya. Mengkonfirmasi penelitian Stein Kristiansen dan Pratikno bahwa Indonesia membutuhkan waktu untuk peningkatan kemampuan daerah sehingga dapat memenuhi ekspektasi desentralisasi.

Agar tumpang tindih pembagian urusan kesehatan sebagaimana pernah terjadi dalam pengaturan menurut UU No 22/1999 dan UU No. 32/2004 beserta peraturan derivatnya tidak terjadi lagi, maka Pemerintah harus segera mengeluarkan Perpres tentang pembagian urusan kesehatan khususnya yang mengatut bidang-bidang dan sub sub bidang kesehatan yang belum diatur dalam lampiran UU No.23 Tahun 2014 bidang kesehatan. Terkait ketidaksesuaian antara peraturan sektoral, keberadaan UU No 23 tahun 2014 tidak serta merta menyelesaikan persoalan yang ada. Ketidaksesuaian juga terjadi antara ketentuan peraturan perundang-undangan pada tingkat nasional dan pada tingkat lokal. Terkait tumpang tindih tersebut palking tidak ada dua hal yang dapoat dilakukan pemerintah, yaitu: 1. Pemerintah harus terus melaksanakan sinkronisasi peraturan perundang-undangan lintas sektoral, 2. kementerian kesehatan harus memanfaatkan dengan baik kembalinya hubungan teknis antara kementerian kesehatan dan dinas kesehatan khususnya terkait sinkronisasi peraturan di bidang kesehatan. Ada urusan-urusan bidang kesehatan yang mengalami degradasi pada masa pelaksanaan otonomi luas, misalnya urusan penanggulangan wabah penyakit menular dan mengenai surveillance. Kedua urusan ini pasca pelaksanaan otonomi luas didesentralisasikan kepada pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota. Sebagai masukan untuk perbaikan pengaturan di bidang kesehatan khususnya terkait sub bidang penanggulangan wabah penyakit menular dan surveillance, ada 2 pilihan: urusan tersebut kembali diatur secara sentralistis oleh pemerintah pusat atau kedua sub bidang ini tetap didesentralisasikan namun dengan pembinaan teknis yang cukup dari dinas kesehatan dan hal tersebut diakomodir dalam PP Organisasi Perangkat Daerah yang sedang dibentuk. Untuk perbaikan pengaturan kewenangan mengatur pemerintah daerah di bidang kesehatan, pemerintah pusat dituntut untuk segera mengeluarkan SPM bidang kesehatan dan petunjuk teknis SPM Kesehatan. SPM kesehatan yang nantinya dikeluarkan haruslah sederhana dalam rumusan indikatornya dan sedapat mungkin mengakomodir variabilitas yang tinggi antara pemerintah daerah. terkait NSPK, diperlukan pengaturan tentang mekanisme monitoring dan evaluasi dari kementerian kesehatan. (Febri/Eka/UPPM-FH UGM)

Leave a Reply

Your email address will not be published.

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.