Dinamika Perkembangan Kelembagaan Perbankan Syariah di Indonesia

 

Bulaksumur Legal Discussion kembali diadakan pada hari Kamis, 28 April 2016. Tema yang di usung pada BLD ke-5 ini adalah Dinamika Perkembangan Kelembagaan Perbankan Syariah di Indonesia yang disampaikan oleh Bapak Khotibul Umam, S.H., LL.M., Dosen pada Departemen Hukum Islam di Fakultas Hukum UGM dengan Moderator Bapak Dr. Yulkarnain Harahab S.H., M.Si.

Diskusi dimulai dengan memberikan overview tentang Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah (UUS) yang menjalankan fungsi menghimpun dan menyalurkan dana masyarakat seperti bank pada umumnya. Lebih lanjut disampaikan bahwa Bank Syariah dan UUS dapat menjalankan fungsi sosial dalam bentuk baitul mal, yaitu menerima dana yang berasal dari zakat, infak, sedekah, hibah, atau dana sosial lainnya dan menyalurkannya kepada organisasi pengelola zakat. Untuk dana sosial yang berasal dari wakaf uang, akan disalurkan kepada pengelola wakaf (nazhir) sesuai dengan kehendak pemberi wakaf (wakif) sebagaimana ditentukan dalam Pasal 4 UU No. 21 Tahun 2008.

Sesuai dengan peraturan perundang-undangan, kelembagaan perbankan syariah di Indonesia di bagi menjadi 3 bentuk, pertama adalah Bank Umum Syariah yakni  Bank Syariah yang dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran. Kedua, Unit Usaha Syariah (UUS), sebagai unit kerja dari kantor pusat Bank Umum Konvensional yang berfungsi sebagai kantor induk dari kantor atau unit yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan Prinsip Syariah, atau unit kerja di kantor cabang dari suatu Bank yang berkedudukan di luar negeri yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional yang berfungsi sebagai kantor induk dari kantor cabang pembantu syariah dan/atau unit syariah. Ketiga, perbankan syariah yang berupa Bank Pembiayaan Rakyat Syariah. Bank Pembiayaan Rakyat Syariah adalah Bank Syariah yang dalam kegiatannya tidak memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran.

Dewasa ini telah berkembang trend pembentukan bank syariah pasca diundangkannya Undang-undang No. 21 Tahun 2008. Perkembangan ini dapat dilihat dengan beberapa pengaturan seperti Bank umum konvensional yang telah memiliki Unit Usaha Syariah (UUS) mengakuisisi bank yang relatif kecil kemudian melakukan konversi terhadap unit tersebut menjadi syariah dan melepaskan serta menggabungkan Unit Usaha Syariah dengan bank yang baru dikonversi tersebut. Bank umum konvensional yang belum memiliki UUS, mengakuisisi bank yang relatif kecil dan melakukan konversi menjadi syariah. Pelaksanaan Pemisahan (spin-off) UUS untuk dijadikan Bank Umum Syariah tersendiri.

Statistik Otoritas Jasa Keuangan Per Desember 2015 menunjukkan Jaringan Kantor (Network) Perbankan Syariah di Indonesia terdiri dari 12 Bank Umum Syariah, 22 Unit Usaha Syariah, dan 162 Bank Pembiayaan Syariah. Termasuk Bank Umum Syariah, yakni : PT Bank Syariah Muamalat Indonesia, PT Bank Syariah Mandiri, PT Bank Syariah Mega Indonesia, PT Bank Syariah BRI, PT Bank Syariah Bukopin, PT Bank Panin Syariah, PT Bank Victoria Syariah, PT BCA Syariah, PT Bank Jabar dan Banten, PT Bank Syariah BNI, PT Maybank Indonesia Syariah, dan PT Bank Tabungan Pensiunan Nasional Syariah. Kecuali PT. Bank Muamalat Indonesia, pembentukan bank umum dimaksud dilakukan melalui mekanisme akuisisi dan konversi dan/atau Pemisahan. Secara umum di Indonesia belum benar-benar menjalankan syariah, baik dalam kepatuhan terhadap fatwa maupun dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah. Pada tataran kelembagaan masih belum pula ketaatan syariah menjadi prinsip yang dipegang oleh pelaku bisnis syariah, lebih jauh lagi dapat dalam membuat produk dalam kelembagaan perbankan syariah yang seharusnya berintikan syariah.

Kegiatan usaha perbankan di Indonesia terbagi dalam beberapa periode waktu. Pertama, ada era Undang-undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan yang masih pada tahap pengenalan usaha perbankan kepada masyarakat dengan praktik yang telah dilindungi oleh peraturan perundang-undangan. Pada era pengenalan tersebut, diperkenalkan bahwa operasional perbankan selain didasarkan pada bunga, juga didasarkan juga pada bagi hasil dengan menjalankan adalah yang khusus untuk menjalankan usaha tersebut. Muncul Bank Muamalat sebagai bank syariah pertama pada tahun 1988. Berkembang pada era Undang-undang No. 8 Tahun 1998 tentang Perbankan yang telah memasuki era pengakuan. Pada masa ini terjadi krisis ekonomi dan banyak bank yang dilikuidisasi. Peristiwa yang memunculkan pengakuan pada bank syariah adalah ada satu bank yang masih dinyatakan sehat yaitu bank muamalah. Poin penting dalam undang-undang perbankan perubahan ini adalah mulai saat itu ada kesempatan menurut undang-undang untuk bank konvensional memberikan layanan syariah dengan tenggang waktu. Pada tahun 2023 harus dipisahkan antara bank konvensional dengan bank syariah sampai pada perkembangan untuk memisahkan dan memurnikan kegiatan usaha perbankan yang masih konvensional dengan yang syariah sehingga dapat dicapai kemurnian kegiatan usah adengan prinsip syariah.

Pentingnya dilakukan analisis dan kajian mendalam untuk mengetahui urgensi Pemisahan UUS BUK dalam perspektif yuridis, sosiologis dan filosofis. Hal ini dilakukan selain mendasarkan pada aspek peraturan perundang-undangan, juga melihat teori-teori hukum (syariah) dan teori sosial guna melihat aktivitas perbankan syariah dari kacamata sosiologis dan filosofis. Dalam skala makro penting untuk dilakukan analisis tentang politik hukum nasional terkait kelembagaan perbankan syariah. Lebih lanjut, penilaian ketaatan syariah (sharia compliance) pada perubahan BUK yang diambil alih (Acquired) menjadi Bank Umum berdasarkan Prinsip Syariah penting untuk menilai semangat kemurnian dari perbankan syariah. Ketaatan dimaksud adalah terhadap peraturan perundang-undangan sebagai manifestasi ketaatan terhadap ulil amri, ketaatan terhadap prinsip-prinsip syariah yang sudah tertuang dalam fatwa DSN-MUI maupun yang belum tertuang dalam fatwa DSN-MUI, serta International Standard Setter yang dikeluarkan oleh AAOIFI, khususnya Standar No. 6 tentang “Bank Conversion to an Islamic Bank”. Berbagai standard setter AAOIFI secara empiris telah menjadi referensi bagi DSN-MUI maupun regulator (Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan) dalam memberikan pengaturan terhadap entitas perbankan syariah. Analisis selanjutnya terhadap nilai kemandirian dan nilai ketergantungan sebagai konsekuensi adanya Pemisahan melalui Acquisition Model. Di samping itu juga akan mendasarkan pada teori tentang Perusahaan Kelompok (Group Company) dengan mengingat adanya relasi induk perusahaan dan anak perusahaan antara BUK dan BUS hasil pemisahan UUS. (Febri-Eka/PPM-FHUGM)

Leave a Reply

Your email address will not be published.

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.